Jumat, 20 Mei 2011

Gadis Musim Gugur III

Pernahkah kau berpikir bahwa kamu ada karena aku?
Pernahkah kau berpikir, perasaan cinta ‘kan abadi?
Pernahkah kau berpikir, aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu?
Aku mencintaimu, untuk sekarang dan selamanya.
Karena ini, adalah awal yang baru.

“Malam Bu.” Kata Gadis sambil membawa panggangan ayam di piring besar.

“Oh sayang, sedang apa kamu ini? Bukannya kamu sakit?” tanya Ibu. Dari dulu ia memang suka mengerjakan kegiatannya di dapur sendiri. Katanya asyik.

“Bu, aku pengin membantu ibu, ibu kan sudah lama tidak bertemu aku, apa ibu tidak kangen dengan anakmu ini?”, tanya Gadis dengan mata jahil.

“Ninimu kangen?! Sudah sana-sana, nanti masakan ibu bau badanmu yang belum mandi,” ejek Ibu.

Gadis langsung pasang wajah cemberut. Walau dia sudah berumur duapuluhan, tapi kalau disamping ibunya ia merasa anak kecil lagi. Hal yang ia sukai. “Iya ibuku sayang, aku mandi dulu ya.” Kata Gadis dengan gaya jalan malasnya.

Ibu hanya menggelengkan kepalanya. “Gadis, Gadis. Sudah gede kok masih kayak anak kecil.”

“BIARIN!” teriak Gadis. “Kedengeran loh Bu suara ibu, ahahaha,” lanjut Gadis yang disambut gelengan kepala ibunya.

♥♥♥

Makan malam pun tiba. Ayah, Ibu, Gadis, dan Mareno berkumpul. Mareno adalah kakak laki-laki Gadis yang paling pertama dan memang satu-satunya. Dan sampai saat ini ia juga belum menikah. Padahal umurnya sudah memasuki kepala tiga. Katanya, menikah hanya sekali seumur hidup, jadi tidak boleh disia-siakan.

Makan malam saat ini sunyi senyap. Tidak ada suara salah satu diantara mereka, yang ada suara dentingan piring yang beradu dengan sendok dan garpu. Gadis merasa ganjal dengan keadaan seperti ini. Diam-diam, Gadis menyikut siku Mareno dan memberi isyarat seakan bertanya ada apa ini sebenarnya? Dan sebagai jawabannya hanya gelengan kepala.

Sepertinya ayah melihat adegan itu. “Besok kamu harus bertemu salah satu anak dari teman Ayah,” katanya serius. Gadis tetap melanjutkan makannya, tidak merasa terganggu.

“Hai kamu nak!” teriak Ayah seraya memukul meja makan.

Gadis kaget tidak kepalang. Tidak biasanya Ayah bersikap seperti itu. Gadis melihat mata ayahnya yang merah. Lalu ia melihat sekitarnya. Semua mata tertuju pada Gadis. “Apa aku salah Yah? Tanya Gadis tak mengerti.

“Aku sedang berbicara padamu nak!” lanjut Ayah dengan mata seramnya.

“Gadis kira Ayah sedang berbicara dengan Mareno. Memangnya kenapa Gadis harus bertemu anak teman Ayah?” tanya Gadis bingung. Memang bingung beneran.

“Sampai sekarang kamu belum nikah juga. Ayah ingin cepat-cepat nimang cucu,” kata Ayah yang suaranya mulai ringan kembali.

“Ayah, sampai saat ini aku belum ada pikiran untuk menikah. Apalagi memiliki anak. Mengapa harus aku duluan yang menikah? Kenapa nggak Kak Mareno duluan saja?” kata Gadis membela diri.

Ibu dan Mareno seperti mayat hidup. Takut dengan jawaban suami sekaligus Ayah dari Mareno dan Gadis. Ibu akhirnya angkat bicara, “Sudahlah tak usah dibicarakan dulu sekarang. Sekarang waktunya makan.”

Semua orang diam setelah ibu berkata begitu. Seperti mereka sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing.

♥♥♥

Sekarang semuanya telah berubah. Ada apa dengan ini semua? Apa Gadis harus merasakan pilihan yang akhirnya harus mengorbankan sesuatu yang dia kasihi? Apa kelak keberuntungan tidak memihak kepadanya? Gadis hanya bisa terdiam dengan semua pilihan yang diberikan orang tuanya. Memilih keluarganya dengan menikah atau mencari pasangannya dengan membiarkan keluargnya. Pilihan yang mematikan.

Hari ini ia harus memutuskan pilihannya atau menyesal selamanya. Gadis memilih pilihan yang memang tidak menguntungan baginya, tapi demi keluarganya, demi kebahagian orang tuanya, demi mereka, demi orang yang dia kasihi, walaupun Gadis harus melupakan Taka. Selamanya.

Akhirnya Gadis mendatangi rumah yang berada di komplek perumahan mewah sesuai alamat yang dikasih ayahnya tadi malam. Pagi ini, Gadis akan menemui orang yang ia tidak kenal sebelumnya dan akan menjadi pendamping hidupnya. Setengah jam dari rumah Gadis, akhirnya sampai juga di pintu gerbang calon suaminya itu. Gadis turun dari taksi dan melihat sekeliling rumah megah itu. Poin pertama: dia dari keluarga mampu, 5 poin untuknya.

Setelah mengumpulkan keberanian, Gadis memencet bel rumah itu. Bel pertama tidak ada jawaban berupa pintu terbuka. Tidak ada pula satpam yang menjaga rumah itu dengan benar. Terlihat dari gerbang, dua orang satpam tertidur pulas seakan semalam tadi kecapean dikejar anjing gila. Akhirnya Gadis memencet bel sekali lagi. Ia berjanji bila bel terakhir ini gerbang tidak dibuka juga, ia akan pulang dan mengomel pada ayahnya bahwa ia tidak disambut baik.

Tapi, akhirnya gerbang itu terbuka juga oleh laki-laki yang sepertinya baru bangun tidur. Dari rambutnya yang berantakan, dari bajunya yang kusut, semua terlihat jelas laki-laki ini baru bangun tidur. Tapi, aroma tubuhnya yang tetap wangi menyegarkan membuat Gadis memberi 3 poin. Penyambutan pagi yang baik. Akhirnya Gadis bertanya, “Apa ini rumah Pak Atmadjo?”

“Ya benar. Ia ayah saya. Anda siapa?”, tanya laki-laki itu.

Seketika tubuh Gadis membeku. Apa ini calon suaminya nanti? Oh tidak, mengapa Gadis menjadi salah tingkah. Dan, mengapa suara laki-laki ini mirip suara Taka? “Saya disuruh ayah saya bertemu dengan Bapak Atmadjo. Perkenalkan saya Gadis.”, kata Gadis terus menunduk.

“Oh Si Janda. Eh salah, Gadis. Tuh kamu udah ditungguin sama Bapak di ruang kerjanya. Masuklah. Anggap saja rumah orang lain.

Gak salah nih anak ngomong gak sopan gitu? Anak?? BUKAN, tapi pembantu tengik. Aku kurangi poin kamu 10!! Poinmu sekarang minus 2!! Batin Gadis.

Sebelum ia ditegur karena kaget mendengar, Gadis buru-buru masuk ke dalam rumah itu. Lalu ia diantarkan ke ruang kerja Pak Atmodjo oleh salah satu pelayan. Pelayan itu menunjukan salah satu ruang yang pintunya lebar, menunjukan isi ruang itu yang begitu penting.

“Ini non ruangnya. Berhati-hatilah.”, kata pelayan dengan senyum misterius. Apa maksudnya dengan ‘berhati-hatilah’? Apa akan terjadi sesuatu? Oh, positive thinking please.

“Terima kasih.”, balas Gadis. Ia maju beberapa langkah dan mengetuk pintu itu. Terdengar suara “masuk” dan inisiatif Gadis masuk ruangan itu.

Gadis disambut baik oleh Pak Atmodjo. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Sedari tadi, Pak Atmodjo bertanya tentang keluarganya. Mungkin untuk perkenalan lebih dekat. Tapi itu lebih baik dibandingkan bertanya tentang kisah kasihnya. Tapi tidak sampai situ, ternyata....

“Sudah berapa kali kamu memiliki pacar?”, tanya Pak Atmodjo mendadak.

Loh? Kok malah menjurus ke sini tho? Jujur , ngga, jujur, ngga, jujur, ngga, jujur...

“Nak???”, tanya Pak Atmodjo. Lah ini orang ga sabaran ya?

“Iya Pak. Saya sudah dua kali pacaran. Hehehe.” , jawab Gadis dengan muka tidak meyakinkan.

“Benar? Ah masa perempuan secantik kamu punya pacar sedikit. Bohong nih?? Hahaha.”, tanya Pak Atmodjo. Untung saja masih nada bercanda. Kalau tidak, aku pengin kabur ke toilet, batin Gadis.

“Benar kok Pak. Dua ditambah tiga. Hehehe.”, jawab Gadis dengan muka cengengesan. Mau manalagi.

“Ah kamu ini, pintar sekali bercanda. Hahaha. Bagus-bagus.” , kata Pak Atmodjo sambil mangut-mangut. Nyindir nih??

Setelah berlama-lama berbicara yang menurut Gadis berbasa-basi ini, akhirnya saat yang menegangkan datang juga. Pak Atmodjo akan memeperkenalkan anaknya dengan Gadis. Semoga tuh laki bener Ya Tuhan, batin Gadis.

“Ini dia anak Bapak. Kamu sudak kenal tentu.”, katanya sambil bergaya menyambut pangeran. Dan ternyata yang tak diduga oleh Gadis, laki-laki itu ‘pembantu tengik!’ yang menyambutnya tadi pagi.

“Bukannya ini pembantu tadi pagi pak?” kata Gadis cepat.

“Apa?? Ini anak saya. Reynaldi. Apa katamu tadi?”, tanya Bapak yang sepertinya heran.

“HAH??”, teriak Gadis yang langsung pingsan. Gubrakk!

Bagian ketiga, tamat.

Gadis Musim Gugur II

Gadis kecil bukanlah seorang yang mudah menyerah. Hanya saja beberapa hari ini pikirannya terasa pusing sekali. Penat dan membingungkan. Kali ini dia berniat pergi menemui temannya yang sudah lama ia kenal lewat salah satu layanan untuk bersosialisasi. Gadis kecil pergi dengan sendirinya, tapi di setiap langkahnya ia merasa ada seseorang yang mengikutinya.

Di sebuah toko kue, tanpa sengaja Gadis menemui seseorang yang sepertinya dia kenal sejak dulu. Setelah lama memperhatikan lelaki itu dari jauh, akhirnya Gadis berani mendekati lelaki itu.

”Kalau tidak salah, kamu bisa berbicara bahasa Indonesia, benar?” kata Gadis.

“Ya, saya bisa. Ada yang saya bisa bantu?”, kata lelaki itu.

“Aku seperti kenal kamu, tapi aku lupa siapa kamu ini. Maaf, kalau boleh saya tahu kamu ini siapa?”

“Aku Takeshi, biasa dipanggil Taka. Kamu? Kok bisa tahu saya bisa bahasa Indonesia? Apa kamu memperhatikan saya dari tadi?” katanya panjaang.

Ups, ketahuan. Oh Gadiiisss, jangan salah tingkah. “Maaf jika itu mengganggu Anda. Saya permisi”, katanya sambil membalikkan badannya. Dan tidak sengaja Gadis menabrak seorang perempuan.

“Aww!” katanya sambil membersihkan tumpahan kopi di baju putihnya.

“Maaf, maaf! Saya tidak sengaja,” kata Gadis sambil membersihkan baju putih perempuan itu.

Setelah membersihkannya walau tidak sebersih semula, ya setidaknya noda kopi tidak tebal, Gadis melihat perempuan yang menggunakan topi musim dingin itu, dan ternyata teman janjiannya.

“Nara?? Aku tidak tahu ini kamu. Maafkan aku,” kata Gadis tersenyum serba salah.

Setelah Gadis mengucapkan minta maaf yang sangat banyak menurutnya, Gadis mulai berbicara tentang tujuannya ke Jepang. Dan ternyata Taka yang baru dia kenal itu tunangannya Nara. Beruntung sekali dia, tapi menurut Gadis itu suatu yang wajar. Nara memiliki wajah yang cantik dan Taka memiliki wajah yang diinginkan semua kaum pria. Sedangkan dia, perempuan biasa dengan penampilan yang tidak menawan sama sekali.

Semakin lama, Gadis semakin bosan. Bosan dengan kesendiriannya kini. Hanya dengan berdiam diri sambil melihat dua orang yang baru pertama kali dia temui berpelukan mesra, seakan dunia milik mereka, dan seakan cinta tak pernah pindah pada lain hati. Dahsyatnya cinta.

Setelah Gadis pamit pada mereka berdua, dia pulang menuju apartemen. Gadis bergerak cepat menuju basement sambil melupakan adegan pelukan yang memilukan hati itu. “Untuk apa aku iri? Tanda tak mampu tahuu!” kata Gadis mencoba tegar. Lalu dia menancapkan gas kencang-kencang. Pergi melesat bersama sakit yang ia bawa. Lelaki itu, Taka itu. Pria yang pernah mengisi hatinya. Gadis sadar.

♥♥♥

Aku sadar, ketika pagi menyambutku semua keadaan berubah.

Aku sadar, aku hanya pelengkap hidupmu saja, tidak lebih.

Aku sadar, kemanapun langkahku ini rasa ini terus berjalan.

Aku sadar, semakin hari cinta ini semakin memilukan.

Dan,

Aku sadar, aku di antara kalian.

♥♥♥

Pagi ini, Gadis Kecil berencana pulang ke Indonesia. Menurutnya, untuk apa datang jauh-jauh hanya untuk melihat orang bermesraan. Akhirnya dua minggu yang lalu Gadis mengurus kepulangannya ke Indonesia. Berharap ingatannya rusak dan tidak akan berfungsi lagi tentang apa-apa di Jepang.

Setelah sekian lama Gadis menunggu jadwal terbang, Gadis berencana berdiam diri di kedai kopi.

“Black coffe.”, kata Gadis. Lalu ia duduk di kursi paling pojok yang menunjukan keadaan luar. Terasa dingin. Tapi dari semua anggota badannya yang terasa dingin, hanya hatinyalah yang terasa panas. Baginya, Taka segalanya, tempat dimana perasaan beradu jadi satu. Tapi itu hanyalah kisah dulu yang sudah tertulis “The End” oleh sebuah pulpen hitam yang terlihat merah di hati. Cinta tak tergenggam ditangannya.

Jam menunjukan waktunya Gadis pergi, akhirnya Gadis berangkat menuju Indonesia. Selamat tinggal Jepang. Terima kasih atas kenangan yang mengingatkanku pada dirimu, batin Gadis.

♥♥♥

Setelah berdiam lama bingung melakukan apa di dalam pesawat, Gadis akhirnya sampai di rumah orang tuanya. Dulu, Taka selalu berbagi bahunya untuk Gadis dulu dan seringkali Gadis berharap untuk sekarang. Tiba-tiba suara telepon terdengar.

“Halo?” kata Gadis yang langsung diputuskan sambungan telepon itu dari seberang orang. Membingungkan.


Bagian kedua, tamat.