Dering Tak Bertamu
Aku tak dapat berpikir lagi bagaimana caranya mencintai dia. Sempat terbesit pikiran untuk membawanya lari dan mengajaknya menikah denganku. Tapi yang aku tahu itu IMPOSSIBLE! Huff, aku putus asa. Tolong aku Tuhan.
Dan tanpa berpikir lama lagi, aku datang mengunjungi rumahnya dan mengatakan niat gilaku.
###
Sampai disana. Aku mengutarakan semuanya.
Dan..
“Aku nggak mau!”, kata Maya.
“Tapi aku harus melakukannya! Aku capek dengan ini semua. Aku cinta kamu May.” Kataku. Lemah.
“Ini bukan kamu!Kamu ini pria, berpikir logislah.”, katanya hingga aku sadar bahwa dia tidak ikut memperjuangkan cinta kita..
“Mulai sekarang—gak ada kita lagi!! Leave me or I will leave you!”, katanya dengan mudah. Lalu meninggalkan aku yang sedang menjabambak-jambak rambutku sendiri. Sial.
“AKU GAK AKAN NINGGALIN KAMU!”, teriakku asa.
###
“Iyan, seharusnya lo mikir semua ini matang-matang! Jangan berpikir cinta mengalahkan semuanya. Emang lo makan dengan cinta, HAH?!”, kata sahabatku, Rio.
Memang seminggu setelah insiden buruk itu aku menginap di rumahnya. Dan inilah puncaknya. Semua unek dia keluar. Aku tahu, dia melakukan ini semua demi kebaikan aku. Biar aku ngga jatuh di lubang yang sama.
“Sayangnya bukan lubang Yan, tapi goa!”, lanjutnya.
“Lo ngomong nusuk banget. Bisa gak mikir dulu?”, kataku. Membalas dingin. Dari sampingnya aku bisa lihat rahang dia mengeras. “Heh, sebenarnya yang punya masalah tuh gua apa lo sih? Kok lo yang malah senewen??”, kataku lagi memcoba mancairkan suasana.
“TAUK, paling gua lagi emosi. Maklum lagi ‘merah’.”, semprot Rio.
“?!#@%&*!!?”
Sembrono dia.
###
Seminggu kemudian...
Aku menjalani hidup dengan seperti biasanya. Tapi hati, akal, dan pikiranku tak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tiap malam aku berpikir apa salahku hingga dia tak mau aku kawini.
“Mungkin lo bau kambing kali! Tau kan nyak babe lokan juragan mbekk!”, kata Rio.
“EHHHHH, silau lo. Jangan bawa nyak-babe gua atuh akiiii.”, kataku.
“Ih. Banci.”, cetus Rio. Hingga aku berniat melempar gitarku yang sedang bermain dangdut ‘Mabuk Asmara’, tapi terhenti seketika oleh dering HP yang berkedap-kedia bertulisan ‘Maya cayank’.
Reflek aku angkat.
“Halo?” sahutku. Tak ada jawaban, dan otomatis aku lihat layar HP, tapi masih aktif. “Halo?” kataku sekali lagi dan langsung terputus. Tuuut tuuut tuut.
“Siapa Yan?”, tanya Rio.
“Monyet.”, sekenaku dan langsung pergi.
###
Dari rumah Rio aku langsung pergi kemanapun ini mobil membawaku. Perjalanan menuju rumahku terasa lama. Padahal hanya sekitar 10 menit untuk nyampe selamat. Dan tanpa sadar aku di pemakaman yang membawaku ke kuburan yang masih basah. Aku melihat batu nisan itu. Bartanya-tanya siapakah yang baru meninggal. Lalu kepalaku mendekati nisan itu. Dan ternyata bertulisan..
Maya Lesiantina.
Lahir : 1 Mei 1989
Wafat: 1 Juli 2010
Aku terjatuh dengan berbagai pertanyaan. Apa benar ini Maya-ku? Apa benar dia kekasihku? Apa benar dia calon ibu dari anak-anakku? Apa benar dia telah meninggal. Siapa?? Siapa yang meneleponku tadi?! Dan semuanya gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.
###
Aku terbangun. Aku ada dimana? Tiba-tiba seorang bapak tua datang menghampiri.
“Istirahat dulu, Nak”, kata Bapak itu.
“Saya dimana Pak?”, tanyaku. Dan aku berusaha mengingat apa yang membuat aku ada disini. Oh tidak, tadi...
“Kamu tadi pingsan di dekat kuburan yang masih basah. Saya kira ada mayat keluar. Hehehe. Maklum Nak, kamu pakai baju putih. Hiihi.”
Aku tak menghiraukan candaanya. “Itu kapan dikuburnya Pak?”
“Jam 10 pagi, Nak. Katanya dia meninggal ditabrak becak yang disusul mobil. Masuk tipi kok Nak beritanya. Banyak lagi wartawan yang wawancara becaknya. Eh maksud saya yang bawanya. Hehe.”, jelas Pak tua itu.
“Pak, tadi dia telepon saya.”, kataku entah ketakutan atau bingung.
“Loh jam berapa?? Kan tabrakannya semalam. Nak gak liat di tipi?”, tanya bapak lagi. Ternyata bapak cerewet yaa.
“Ngga Pak. Boro-boro saya nonton tipi, mata saya bengkak. Dia telepon saya tadi jam setengah sepuluh. Setengah jam sebelum pemakaman berarti.”, jelasku. Mulai merinding dan terpukul. “Pak, temani saya ke kuburan dia ya Pak.”, kataku merengek. “Ayo Nak.”
###
Maya, kamu selamanya ada dihatiku. Tak akan pernah bisa terganti oleh siapapun. Darah mengalir ini atas namamu. Karna kuhidup dengan tujuan ada disampingmu selalu. Walau kita takkan pernah bisa bertemu, izinkan aku mengenangmu dihatiku, selamanya.
###
Tak dapat aku mengalihkan pandanganku dari bingkai foto ini. Tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang.
“Hei bro, gua turut berduka cita ya. Lo kudu sabar, semua ini pasti ada hikmahnya.”, kata Rio berusaha menemaniku.
“Sampai hari ini gua cuman bingung aja. Siapa yang nelepon gua dua hari yang lalu pas di rumah lo.”, tanya aku yang sebenarnya bertanya pada diriku sendiri.
“Monyet kata lo kan.”, jawab Rio ragu-ragu.
“Sebenarnya di HP tuh Maya yang nelepon tapi kata bapak-bapak penjaga kuburan itu Maya udah meninggal.”, jelasku.
“Maya kan gak cuman dia doang. Udah coba hubungi orang tuanya?”, tanya Rio. Yang membuat aku tercengang. Betapa begonya gua!!! Tapi nama dan tanggal dia lahir? Ah coba dulu deh.
“Bentar Yo. Gua coba telepon mereka.” Sahutku.
JEGEERR. Rio seketika terjatuh. Dasar bocah edan, batinnya.
###
Aku langsung menyambar HP di meja belajar dan memencet nomor telepon yang sudah aku hapal.
“Halo Sore Om. Iya ini Aku Riyan. Ada Maya om?”, kataku.
Dan aku mendengar tiap kata bapak yang sudah menjadi calon mertuaku(tapi gagal).
“Ya Om. Aku turut berduka cita ya Om. Sampaikan salam buat Tante dan adik Oni. Iya Om, sama-sama. Sore Om.”, kataku seraya mematikan hubungan telepon. Aku masih ngga menyangka kenapa ini memang benar adanya. Tadi, sehabis Rio menyarankan aku telepon mereka, masih ada setidaknya secercah harapan bahwa yang aku lihat di nisan itu bukan Maya-ku. Tuhan, beri aku ketegaran-Mu.
###
Aku membeli tiket untuk pulang ke Jakarta. Perjalanan yang begitu dingin dan seharusnya aku senang karena bisa ketemu Nyak-Babeh. Tapi yang ada aku semakin kalut dengan perjalanan ini. Tanggal ini, seharusnya aku membawa Maya ke orang tuaku. Tapi mengapa aku mengacaukannya karena aku tidak bersabar walau tuk sedikit saja.
Aku mencoba kuat. Bahwa semua ini memang sudah menjadi suratan takdir-Nya. Dengan nuansa yang membosankan, akhirnya aku tidur dan terjun ke alam mimpi.
Mimpi itu, ada aku dan Maya. Dia menggunakan gaun yang anggun dan cantik. Dan aku menggunakan jas. Tapi, Maya ngga menggunakan gaun pengantin seperti aku. Disebelahku ada perempuan yang entah mengapa ada yang mengatakan bahwa dia calon istriku. Maya menghampiriku dan mengatakan yang mungkin pesan terakhirnya. Jagalah dia seperti kamu menjagaku. Sayangi dia seperti kamu menyayangiku. Dan sesungguhnya, sayang akan datang padamu jika kamu sudah mengerti apa itu memiliki, mengerti, menyayangi, dan mencintai. Lalu tiba-tiba semuanya kabur dan aku terbangun. Dan ternyata aku sudah di depan rumah. Dasar travel hebat.
Segera aku menurunkan barang-barangku dan oleh-oleh untuk Nyak-Babeh.
Aku langsung teriak keras dan membentang tanganku lebar-lebar. “ENYAAAKK, BABEEEHH. AKU PADAMUUU.”, teriakku nyaring.
“Hush! Teriak-teriak! Bawa apa buat Mak mu , nak?”, tanya Enyak.
“Yeeeehhh, aku datang bukan ditanya kabar tapi malah nanya oleh-oleh. Gimana deh Enyak!”, gerutuku sambil belagak cemberut.
“Yee, bukan gitu Nak! Kan katanya kamu mau bawa ‘oleh-oleh’. Itu loooohhhhhhh, calon menantu Babeh dan Enyakmu.”, jawab Babeh.
Seketika aku bagai tersambar petir di siang bolong. Berusaha aku menjelaskan dari kemarin lewat telepon tapi aku tak sanggup. Bagaimana mereka berharap penuh. Tapi bagaimanapun harus.
“Yuk kita masuk dulu. Masa Abang gak disuruh masuk? Heheheh.”, rayuku.
Mereka kelihatan seperti kebingungan. Tapi aku tetap berusaha tersenyum, walau kutahu mereka pasti mengira aku ngga beres.
“Ada apa sebenarnya?”, tanya Babeh.
“Iya Nak ada apa?”, timpal Enyak.
“Gini, Maya calon menantu Nyak-Babeh udah gak bisa sama aku lagi. Dia udah punya tugas sendiri yang gak bisa dicampuri oleh siapapun.”, jelasku. Dan baru sadar sedari tadi aku menahan napas.
“Maksudnya apa Abang?”, tanya Babeh.
“Dia udah ngga ada.”, berusaha suaraku stabil. Tapi tetap mataku ngga bisa bohong.
“Innalilahi. Yaudah kamu bersih-bersih dulu.”, saran Enyak. Dan mereka berbincang sesuatu. Hemh, ngusir nih ah.
###
Setelah aku bersih-bersih. Aku mengambil headphone dan memutar lagu Takkan Terganti dari Marcell. Lagu ini untukmu sayang. Sampai kapanpun kamu dihatiku, batin seorang Riyan.
Dan gak lama kemudian HP itu berdering bertulisan ‘Maya Cayank’.
TAMAT
Dan tanpa berpikir lama lagi, aku datang mengunjungi rumahnya dan mengatakan niat gilaku.
###
Sampai disana. Aku mengutarakan semuanya.
Dan..
“Aku nggak mau!”, kata Maya.
“Tapi aku harus melakukannya! Aku capek dengan ini semua. Aku cinta kamu May.” Kataku. Lemah.
“Ini bukan kamu!Kamu ini pria, berpikir logislah.”, katanya hingga aku sadar bahwa dia tidak ikut memperjuangkan cinta kita..
“Mulai sekarang—gak ada kita lagi!! Leave me or I will leave you!”, katanya dengan mudah. Lalu meninggalkan aku yang sedang menjabambak-jambak rambutku sendiri. Sial.
“AKU GAK AKAN NINGGALIN KAMU!”, teriakku asa.
###
“Iyan, seharusnya lo mikir semua ini matang-matang! Jangan berpikir cinta mengalahkan semuanya. Emang lo makan dengan cinta, HAH?!”, kata sahabatku, Rio.
Memang seminggu setelah insiden buruk itu aku menginap di rumahnya. Dan inilah puncaknya. Semua unek dia keluar. Aku tahu, dia melakukan ini semua demi kebaikan aku. Biar aku ngga jatuh di lubang yang sama.
“Sayangnya bukan lubang Yan, tapi goa!”, lanjutnya.
“Lo ngomong nusuk banget. Bisa gak mikir dulu?”, kataku. Membalas dingin. Dari sampingnya aku bisa lihat rahang dia mengeras. “Heh, sebenarnya yang punya masalah tuh gua apa lo sih? Kok lo yang malah senewen??”, kataku lagi memcoba mancairkan suasana.
“TAUK, paling gua lagi emosi. Maklum lagi ‘merah’.”, semprot Rio.
“?!#@%&*!!?”
Sembrono dia.
###
Seminggu kemudian...
Aku menjalani hidup dengan seperti biasanya. Tapi hati, akal, dan pikiranku tak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tiap malam aku berpikir apa salahku hingga dia tak mau aku kawini.
“Mungkin lo bau kambing kali! Tau kan nyak babe lokan juragan mbekk!”, kata Rio.
“EHHHHH, silau lo. Jangan bawa nyak-babe gua atuh akiiii.”, kataku.
“Ih. Banci.”, cetus Rio. Hingga aku berniat melempar gitarku yang sedang bermain dangdut ‘Mabuk Asmara’, tapi terhenti seketika oleh dering HP yang berkedap-kedia bertulisan ‘Maya cayank’.
Reflek aku angkat.
“Halo?” sahutku. Tak ada jawaban, dan otomatis aku lihat layar HP, tapi masih aktif. “Halo?” kataku sekali lagi dan langsung terputus. Tuuut tuuut tuut.
“Siapa Yan?”, tanya Rio.
“Monyet.”, sekenaku dan langsung pergi.
###
Dari rumah Rio aku langsung pergi kemanapun ini mobil membawaku. Perjalanan menuju rumahku terasa lama. Padahal hanya sekitar 10 menit untuk nyampe selamat. Dan tanpa sadar aku di pemakaman yang membawaku ke kuburan yang masih basah. Aku melihat batu nisan itu. Bartanya-tanya siapakah yang baru meninggal. Lalu kepalaku mendekati nisan itu. Dan ternyata bertulisan..
Maya Lesiantina.
Lahir : 1 Mei 1989
Wafat: 1 Juli 2010
Aku terjatuh dengan berbagai pertanyaan. Apa benar ini Maya-ku? Apa benar dia kekasihku? Apa benar dia calon ibu dari anak-anakku? Apa benar dia telah meninggal. Siapa?? Siapa yang meneleponku tadi?! Dan semuanya gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.
###
Aku terbangun. Aku ada dimana? Tiba-tiba seorang bapak tua datang menghampiri.
“Istirahat dulu, Nak”, kata Bapak itu.
“Saya dimana Pak?”, tanyaku. Dan aku berusaha mengingat apa yang membuat aku ada disini. Oh tidak, tadi...
“Kamu tadi pingsan di dekat kuburan yang masih basah. Saya kira ada mayat keluar. Hehehe. Maklum Nak, kamu pakai baju putih. Hiihi.”
Aku tak menghiraukan candaanya. “Itu kapan dikuburnya Pak?”
“Jam 10 pagi, Nak. Katanya dia meninggal ditabrak becak yang disusul mobil. Masuk tipi kok Nak beritanya. Banyak lagi wartawan yang wawancara becaknya. Eh maksud saya yang bawanya. Hehe.”, jelas Pak tua itu.
“Pak, tadi dia telepon saya.”, kataku entah ketakutan atau bingung.
“Loh jam berapa?? Kan tabrakannya semalam. Nak gak liat di tipi?”, tanya bapak lagi. Ternyata bapak cerewet yaa.
“Ngga Pak. Boro-boro saya nonton tipi, mata saya bengkak. Dia telepon saya tadi jam setengah sepuluh. Setengah jam sebelum pemakaman berarti.”, jelasku. Mulai merinding dan terpukul. “Pak, temani saya ke kuburan dia ya Pak.”, kataku merengek. “Ayo Nak.”
###
Maya, kamu selamanya ada dihatiku. Tak akan pernah bisa terganti oleh siapapun. Darah mengalir ini atas namamu. Karna kuhidup dengan tujuan ada disampingmu selalu. Walau kita takkan pernah bisa bertemu, izinkan aku mengenangmu dihatiku, selamanya.
###
Tak dapat aku mengalihkan pandanganku dari bingkai foto ini. Tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang.
“Hei bro, gua turut berduka cita ya. Lo kudu sabar, semua ini pasti ada hikmahnya.”, kata Rio berusaha menemaniku.
“Sampai hari ini gua cuman bingung aja. Siapa yang nelepon gua dua hari yang lalu pas di rumah lo.”, tanya aku yang sebenarnya bertanya pada diriku sendiri.
“Monyet kata lo kan.”, jawab Rio ragu-ragu.
“Sebenarnya di HP tuh Maya yang nelepon tapi kata bapak-bapak penjaga kuburan itu Maya udah meninggal.”, jelasku.
“Maya kan gak cuman dia doang. Udah coba hubungi orang tuanya?”, tanya Rio. Yang membuat aku tercengang. Betapa begonya gua!!! Tapi nama dan tanggal dia lahir? Ah coba dulu deh.
“Bentar Yo. Gua coba telepon mereka.” Sahutku.
JEGEERR. Rio seketika terjatuh. Dasar bocah edan, batinnya.
###
Aku langsung menyambar HP di meja belajar dan memencet nomor telepon yang sudah aku hapal.
“Halo Sore Om. Iya ini Aku Riyan. Ada Maya om?”, kataku.
Dan aku mendengar tiap kata bapak yang sudah menjadi calon mertuaku(tapi gagal).
“Ya Om. Aku turut berduka cita ya Om. Sampaikan salam buat Tante dan adik Oni. Iya Om, sama-sama. Sore Om.”, kataku seraya mematikan hubungan telepon. Aku masih ngga menyangka kenapa ini memang benar adanya. Tadi, sehabis Rio menyarankan aku telepon mereka, masih ada setidaknya secercah harapan bahwa yang aku lihat di nisan itu bukan Maya-ku. Tuhan, beri aku ketegaran-Mu.
###
Aku membeli tiket untuk pulang ke Jakarta. Perjalanan yang begitu dingin dan seharusnya aku senang karena bisa ketemu Nyak-Babeh. Tapi yang ada aku semakin kalut dengan perjalanan ini. Tanggal ini, seharusnya aku membawa Maya ke orang tuaku. Tapi mengapa aku mengacaukannya karena aku tidak bersabar walau tuk sedikit saja.
Aku mencoba kuat. Bahwa semua ini memang sudah menjadi suratan takdir-Nya. Dengan nuansa yang membosankan, akhirnya aku tidur dan terjun ke alam mimpi.
Mimpi itu, ada aku dan Maya. Dia menggunakan gaun yang anggun dan cantik. Dan aku menggunakan jas. Tapi, Maya ngga menggunakan gaun pengantin seperti aku. Disebelahku ada perempuan yang entah mengapa ada yang mengatakan bahwa dia calon istriku. Maya menghampiriku dan mengatakan yang mungkin pesan terakhirnya. Jagalah dia seperti kamu menjagaku. Sayangi dia seperti kamu menyayangiku. Dan sesungguhnya, sayang akan datang padamu jika kamu sudah mengerti apa itu memiliki, mengerti, menyayangi, dan mencintai. Lalu tiba-tiba semuanya kabur dan aku terbangun. Dan ternyata aku sudah di depan rumah. Dasar travel hebat.
Segera aku menurunkan barang-barangku dan oleh-oleh untuk Nyak-Babeh.
Aku langsung teriak keras dan membentang tanganku lebar-lebar. “ENYAAAKK, BABEEEHH. AKU PADAMUUU.”, teriakku nyaring.
“Hush! Teriak-teriak! Bawa apa buat Mak mu , nak?”, tanya Enyak.
“Yeeeehhh, aku datang bukan ditanya kabar tapi malah nanya oleh-oleh. Gimana deh Enyak!”, gerutuku sambil belagak cemberut.
“Yee, bukan gitu Nak! Kan katanya kamu mau bawa ‘oleh-oleh’. Itu loooohhhhhhh, calon menantu Babeh dan Enyakmu.”, jawab Babeh.
Seketika aku bagai tersambar petir di siang bolong. Berusaha aku menjelaskan dari kemarin lewat telepon tapi aku tak sanggup. Bagaimana mereka berharap penuh. Tapi bagaimanapun harus.
“Yuk kita masuk dulu. Masa Abang gak disuruh masuk? Heheheh.”, rayuku.
Mereka kelihatan seperti kebingungan. Tapi aku tetap berusaha tersenyum, walau kutahu mereka pasti mengira aku ngga beres.
“Ada apa sebenarnya?”, tanya Babeh.
“Iya Nak ada apa?”, timpal Enyak.
“Gini, Maya calon menantu Nyak-Babeh udah gak bisa sama aku lagi. Dia udah punya tugas sendiri yang gak bisa dicampuri oleh siapapun.”, jelasku. Dan baru sadar sedari tadi aku menahan napas.
“Maksudnya apa Abang?”, tanya Babeh.
“Dia udah ngga ada.”, berusaha suaraku stabil. Tapi tetap mataku ngga bisa bohong.
“Innalilahi. Yaudah kamu bersih-bersih dulu.”, saran Enyak. Dan mereka berbincang sesuatu. Hemh, ngusir nih ah.
###
Setelah aku bersih-bersih. Aku mengambil headphone dan memutar lagu Takkan Terganti dari Marcell. Lagu ini untukmu sayang. Sampai kapanpun kamu dihatiku, batin seorang Riyan.
Dan gak lama kemudian HP itu berdering bertulisan ‘Maya Cayank’.
TAMAT